CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Minggu, 26 Agustus 2012

Ini Senjaku, Drina

: Ladrina


begini senjaku, Drina. 
saat luka tak lagi mengenal waktu dan penantian terasa abadi, 
sementara merah bukan lagi darah tapi sepi yang enggan pergi, 

mungkin di sebuah dermaga kau akan menyaksikan satu-dua kapal antah berantah mengangkut pulang kenangan entah milik siapa, 
milik aku yang telah lama tenggelam di dasar diammu, 
atau milikmu yang telah terbang bersama serak suaraku

mengucapkan perpisahan yang kita tau sama-sama berat
mengucapkannya lirih dalam satu pelukan yang tak bisa lebih erat

begini senjaku, Drina. 
mungkin di dermaga itu kau tak akan bertemu aku, 
hanya menghitung detik demi detik dengan lancang berkejaran dan mengharapkannya mati atau beku. 

tapi ada beberapa pertemuan yang tak boleh terjadi karena luka setelahnya akan membuat sepi di bibir kita saling mengucap benci.

biarlah hening yang kau dan aku simpan berlayar dalam kapal yang berbeda
biarlah cahaya yang jingga menyala di matamu pergi, Drina
itu bukan senja kita...

Di Depan Cermin

: Lakshmi

tak ada yang berubah meski kenangan sudah berhasil kau kemas dan luka tak lagi membuatmu cemas. 
sebab kepergian selalu terasa nyata dan kesepian selalu mencari teman. 

di depan cermin ada sejarah yang mengulang-ulang dirinya, memanggilmu dari kejauhan.
aku bersembunyi di sudut lain membiarkanmu menatap wajah yang selama ini bertarung dengan ragu: benarkah sejauh ini pernah ada kita di situ?

tak ada yang terganti meski ingatan tergulung rapi dan kau sudah menyediakan ruang yang lain lagi. 
sebab raung yang kau peram selalu memantulkan diri setiap kali kau mulai meraba pipi: 
di depan cermin kau membayangkan tanganku mengusap lagi wajahmu, 
menyentuh kembali kenangan itu. 
ada yang mengalir di pipimu tapi bukan airmata. 
seperti ingatan yang mencair dan mencari rumah. 
rindu yang pergi dan pulang ingin sekali rebah.

tapi.....
tak ada rumah yang kau ingat di balik cermin itu. 
sebab tak pernah ada kau dan aku.

Di Permukaan Cangkir

by: Benzbara

ada kerut kenangan terukir di dasar cangkir,
mengundang bibirmu yang memang bersikeras mencium ampas, 
sementara masa lalu tak patut lagi kita gali
 dan percakapan perlahan menjadi mahal. 

di depanmu aku menyusun kemungkinan tapi kau membuang semua kepastian.

tak ada jarak terjauh antara dua luka kecuali perasaan tak ingin mempertahankan. 
dalam hening ruang dengan dua cangkir minuman di depan kita,
sunyi telah mengubah diri menjadi lebam di masing-masing dada. 
di depanku kau menyusun kebohongan 
dan aku terlalu lihai untuk tak percaya.

ada aroma kenangan di permukaan cangkir yang belum kau minum 
tapi wajahmu telah menolak mengingat apapun. 
sebab yang sudah berlalu tak perlu kembali. 
sebab adanya luka tak perlu lagi.

"sebab dirimu tak ingin pergi."

Di Tempat Biasa Kita Bertemu

di tempat biasa kita bertemu, 
ada yang tertinggal dari setiap sesap minuman hangat, 
seperti ampas kopi yang pahit dan pekat, 
seperti bayangan luka yang begitu dekat....

di tempat biasa kita bertemu, 
samar suaramu masih terdengar, 
seperti ingatan yang perlahan pudar, 
seperti kenangan yang menyembunyikan memar...

di tempat biasa kita bertemu, 
ada yang tersisa dari setiap sayup suara, 
ada yang terlupa untuk dibawa, 
ada yang luput dari perhatian kita...

di tempat biasa kita bertemu, 
ada yang belum terangkum dalam kalimatku, 
samar suaraku tak sampai lagi kepadamu...

Bertaruh Luka



mari bertaruh luka di meja ini dan lihat siapa yang menang. 
sebab bayangan masa depan terlalu buram sementara masa lalu di matamu begitu terang.
tak ada peluk yang cukup hangat untuk meredakan amarahku 
dan tak ada cium yang begitu erat untuk mengikatmu.

sementara masih terlampau jauh untuk sebuah genggam. 
sementara masih terlampau jauh untuk sebuah cinta. 
sementara masih terlampau jauh untuk sebuah rindu.

sementara sudah terlampau luka untuk menyebut kita.

Seperti Itu

: falla adinda

seperti kau yang tersenyum menghirup aroma kopi
sebab ia dan pahitnya meredam kecamuk dalam kepalamu

seperti itu aku terpaku di depan secangkir teh, sendiri.....
sebab di tenang beningnya terpantul kenangan tentangmu

seperti kau yang menyukai gelapnya malam sebab
ia menuntunmu kembali ke dalam cahaya baru

seperti itu pula aku yang menyukai pagi
sebab di situ aku mulai mencintaimu lagi

Dari Kau, Dari Aku



: Lakshmi

entah seberapa rumit kenangan bisa kau buat sebelum aku lupa bagaimana caranya mengingat. 
aku tak bisa lagi melafalkan luka semenjak kau hapus seluruh langkah di dadaku yang telah sedemikian dalam terpahat. 
tak ada yang begitu rahasia dan membingungkan dari tiap rasa kecewa sebab kita sudah bersepakat akan membunuh harapan masing-masing. 
dari yang terkecil. 
dari yang paling samar.

entah seberapa sederhana perpisahan bisa aku jelaskan setelah kau ingat bagaimana caranya melupakan. 
kau begitu fasih mengeja setiap kesalahan semenjak kita bertemu lalu mempelajari apa saja yang pernah kutulis di hatimu. 
selalu ada yang tersembunyi dan terlewat dari tiap perbincangan sebab kita tak pernah berjanji untuk memahami masa lalu dan sejarah pilu masing-masing. 
dari yang pernah terucap. 
dari yang masih tersimpan.

Apakah yang Mungkin



: Lakshmi

apakah yang sanggup membawa pelukmu kembali, 
sementara aku terlalu ragu bahkan hanya untuk sebuah mungkin.
padahal rindu telah mengendap begitu lama dan luka telah fasih mengeja nama kita.

bukankah perpisahan adalah judul yang paling indah untuk menandai paragraf baru dari sebuah akhir yang begitu lekas?

kukira kau belum pergi terlalu jauh... 
sebab masih tertinggal samar wangi tubuhmu merayap perlahan di seluas dadaku. 

bukankah kenangan adalah teman terbaik untuk membaca lagi halaman demi halaman yang sering kita lupakan?

apakah yang mungkin membawa langkahmu kembali... 
sementara kau terlalu angkuh untuk memungut lagi keping demi keping yang aku lemparkan.
yang kau biarkan.

Di Jarimu

[1] Di Jarimu by Rahne


: Lakshmi

di permukaan mataku kau menuliskan luka, 
lalu memaksa bibirku yang sedang kau lumat dengan ucapan perpisahan membacanya kata demi kata. 

kita begitu fasih menghancurkan pilihan dan tak pernah tahu bagaimana cara mengembalikan.
sementara airmata sibuk mencari jalan pulang, 
takdir melingkar tenang di jarimu serupa kegagalan yang memaksa untuk diingat. 

aku tak mampu menulis di tanganmu sebab sebuah genggam tak cukup menahan puluhan rencana kepergian. 

kita begitu hafal cara saling menemukan tapi tak pernah paham bagaimana cara bertahan.

di dadamu ada tulisan yang tak pernah selesai. 
tentang rindu yang lumpuh di tengah jalan dan cinta yang mekar di tempat lain. 
jauh dari yang tak akan kembali. 
jauh dari yang tak pernah terjadi.