CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Sabtu, 18 Mei 2013

#TulisanPesanan: Sebelah Pihak

image

Memang tak pernah mudah mengaku tidak cinta, sedangkan ketika mengatakannya saja, debar di dada tak mampu berdusta. Seakan berkata ‘tidak’ dengan anggukan kepala, atau menggeleng sambil berkata ‘iya’. Diri sendiri pun seringkali dibuat bingung; mana jawaban yang sesungguhnya?

Satu hal yang kuyakini, bahwa debar yang mengetuk-ngetuk isi dada itu tak pernah bisa berkata dusta. Debar itu datang dari rasa di hati, sedangkan kata-kata yang menggulung di bibir bisa saja datang dari isi kepalaku sendiri. Dan sayangnya, isi kepala seringkali bertugas hanya untuk mencari pembenaran. Padahal hati yang punya kebenaran, aku hanya takut mengakuinya.

Barangkali inilah cinta yang sebenar-benarnya cinta. Perasaan nyaman ketika bersamanya; perasaan yang tak mudah ditemukan pada orang lain, sebab aku dan kamu telah benar-benar saling mengenal. Sebab kita berdua bersahabat.

Tentu bukanlah suatu kesalahan untuk jatuh hati pada sahabat sendiri. Lagipula, memangnya kita bisa menentukan kepada siapa hati harus terjatuh? Lagipula, bukankah tidak sedikit cinta yang lahir dari kebiasaan—biasa bertemu, biasa bertukar cerita, biasa bersama?
Andaikan Tuhan memberi kesempatan memilih dan menentukan, mungkin bukan begini jalan ceritanya. Akupun tak pernah ingin ceritaku kelak hanya berakhir di sekumpulan tanda tanya; Haruskah kunyatakan perasaan ini, ataukah tidak? Apakah ia mencintaiku, ataukah tidak? Apakah ini cinta, ataukah penasaran saja? Bagaimana jika setelah kubilang cinta, dia bilang tidak? Bagaimana jika setelah kita saling mengaku cinta, nyatanya hubungan justru berakhir begitu saja? Bagaimana jika sebetulnya ia mencintaiku, namun karena aku tak menyatakannya maka ia juga tak berani berkata apa-apa?

Sejuta ‘apakah’, ‘bagaimana’ dan yang lainnya, memang tak akan bisa menjawab dan menyelesaikan apapun. Betapa mencintai tak pernah mudah, meski sudah hati-hati, sepenuh hati agar tak berharap, nyatanya tetap saja kembali kepada keinginan terpendam. Ingin diperlakukan sama, dibalas cintanya, dihargai usahanya. 

Dan sayangnya, akupun tak mampu memaksa sebuah cinta untuk hadir di sana. Tak mampu dan tak mau. Jika memang kamu tak cinta, semestinya aku pergi saja. Ya, memang sesederhana itu, semestinya. Di luar kenyataan bahwa ada masa-masa terluka, menyembuhkan duka, kemudian mencari cinta yang selanjutnya.

Entah apa keinginan Tuhan, mempertemukan kita, membuat percikan cinta, namun hanya pada aku saja. Sementara di sanalah kamu, di hadapanku. Tersenyum bahagia tanpa pernah ada namaku tertulis sebagai alasannya. Seakan sudah ada sebuah bahagia dalam genggaman, namun tetap saja tak bisa kumiliki sepenuhnya. Sebab kamu hanya mampu kubahagiakan sebatas teman saja; padahal kuyakin, jika Tuhan mengizinkan, aku mampu bahagiakanmu lebih.

Cinta ini rumit, namun bukankah aku selalu ada di saat-saat kamu sulit?
Semoga pada akhirnya Tuhan membukakan jalan. Yang terbaik untuk kita, tentu saja kuucap sebagai doa. Padamu aku selalu cinta, meski kita tak pernah bisa membawa ikatan ini ke mana-mana. Kelak ketika masa depan memisahkan, dan hati kita telah dimiliki pasangan yang seharusnya, tetap tak perlu ragu untuk menoleh ke arahku lagi. Sebab sejak dulu, hatimu itu selalu punya rumah di balik dada dan isi kepala. 

Semoga bukan hanya padamu, Tuhan menitipkan semesta bahagia yang kupunya.
Yang kuingin menemukan asa pada hati yang sanggup membalas rasa dalam nyata.
Semoga bukan hanya padamu, Tuhan membuat langkah-langkahku terhenti.
Yang kuingin bertemu sebuah hati, yang kemudian menganggapku juga berarti. Dan barangkali itu bukan hatimu.


*ditulis untuk dalamaksara dan gangguanmental. kebetulan tema yang kalian pesan serupa. semoga sesuai dengan isi hati. :) 
gambar diambil dari google

 http://abcdefghindrijklmn.tumblr.com/tagged/TulisanPesanan

0 komentar:

Posting Komentar