Memang tak pernah mudah mengaku tidak cinta,
sedangkan ketika mengatakannya saja, debar di dada tak mampu berdusta.
Seakan berkata ‘tidak’ dengan anggukan kepala, atau menggeleng sambil
berkata ‘iya’. Diri sendiri pun seringkali dibuat bingung; mana jawaban
yang sesungguhnya?
Satu hal yang kuyakini, bahwa debar yang
mengetuk-ngetuk isi dada itu tak pernah bisa berkata dusta. Debar itu
datang dari rasa di hati, sedangkan kata-kata yang menggulung di bibir
bisa saja datang dari isi kepalaku sendiri. Dan sayangnya, isi kepala
seringkali bertugas hanya untuk mencari pembenaran. Padahal hati yang
punya kebenaran, aku hanya takut mengakuinya.
Barangkali inilah cinta yang sebenar-benarnya
cinta. Perasaan nyaman ketika bersamanya; perasaan yang tak mudah
ditemukan pada orang lain, sebab aku dan kamu telah benar-benar saling
mengenal. Sebab kita berdua bersahabat.
Tentu bukanlah suatu kesalahan untuk jatuh
hati pada sahabat sendiri. Lagipula, memangnya kita bisa menentukan
kepada siapa hati harus terjatuh? Lagipula, bukankah tidak sedikit cinta
yang lahir dari kebiasaan—biasa bertemu, biasa bertukar cerita, biasa bersama?
Andaikan Tuhan memberi kesempatan memilih dan
menentukan, mungkin bukan begini jalan ceritanya. Akupun tak pernah
ingin ceritaku kelak hanya berakhir di sekumpulan tanda tanya; Haruskah
kunyatakan perasaan ini, ataukah tidak? Apakah ia mencintaiku, ataukah
tidak? Apakah ini cinta, ataukah penasaran saja? Bagaimana jika setelah
kubilang cinta, dia bilang tidak? Bagaimana jika setelah kita saling
mengaku cinta, nyatanya hubungan justru berakhir begitu saja? Bagaimana
jika sebetulnya ia mencintaiku, namun karena aku tak menyatakannya maka
ia juga tak berani berkata apa-apa?
Sejuta ‘apakah’, ‘bagaimana’ dan yang
lainnya, memang tak akan bisa menjawab dan menyelesaikan apapun. Betapa
mencintai tak pernah mudah, meski sudah hati-hati, sepenuh hati agar tak
berharap, nyatanya tetap saja kembali kepada keinginan terpendam. Ingin
diperlakukan sama, dibalas cintanya, dihargai usahanya.
Dan sayangnya, akupun tak mampu memaksa
sebuah cinta untuk hadir di sana. Tak mampu dan tak mau. Jika memang
kamu tak cinta, semestinya aku pergi saja. Ya, memang sesederhana itu, semestinya. Di luar kenyataan bahwa ada masa-masa terluka, menyembuhkan duka, kemudian mencari cinta yang selanjutnya.
Entah apa keinginan Tuhan, mempertemukan
kita, membuat percikan cinta, namun hanya pada aku saja. Sementara di
sanalah kamu, di hadapanku. Tersenyum bahagia tanpa pernah ada namaku
tertulis sebagai alasannya. Seakan sudah ada sebuah bahagia dalam
genggaman, namun tetap saja tak bisa kumiliki sepenuhnya. Sebab kamu
hanya mampu kubahagiakan sebatas teman saja; padahal kuyakin, jika Tuhan
mengizinkan, aku mampu bahagiakanmu lebih.
Cinta ini rumit, namun bukankah aku selalu ada di saat-saat kamu sulit?
Semoga pada akhirnya Tuhan membukakan jalan.
Yang terbaik untuk kita, tentu saja kuucap sebagai doa. Padamu aku
selalu cinta, meski kita tak pernah bisa membawa ikatan ini ke
mana-mana. Kelak ketika masa depan memisahkan, dan hati kita telah
dimiliki pasangan yang seharusnya, tetap tak perlu ragu untuk menoleh ke
arahku lagi. Sebab sejak dulu, hatimu itu selalu punya rumah di balik
dada dan isi kepala.
Semoga bukan hanya padamu, Tuhan menitipkan semesta bahagia yang kupunya.
Yang kuingin menemukan asa pada hati yang sanggup membalas rasa dalam nyata.
Semoga bukan hanya padamu, Tuhan membuat langkah-langkahku terhenti.
Yang kuingin bertemu sebuah hati, yang kemudian menganggapku juga berarti. Dan barangkali itu bukan hatimu.
*ditulis untuk dalamaksara dan gangguanmental. kebetulan tema yang kalian pesan serupa. semoga sesuai dengan isi hati. :)
gambar diambil dari google
http://abcdefghindrijklmn.tumblr.com/tagged/TulisanPesanan
0 komentar:
Posting Komentar